Lagi-lagi aku terlibat dalam sebuah perburuan, meramu rasa dan logika, lalu tertawa. Perjalanan ini terjadi tanpa perencanaan. Aku sudah lama menikmati perjalanan dengan logika yang merdeka, tanpa intervensi hati. Namun tetiba aku harus jatuh, menciderai perasaan sendiri, berkali-kali. Perburuan kali ini sedikit berbeda. Ada luka yang aku buat sendiri, ada tawa yang muncul dari perasaanku sendiri, dan ada malu pada diri sendiri. Belakangan ini, membaca kembali perburuan ini menjadi sangat lucu, sepertinya aku sedang berada di luar dari diriku.
Namanya juga perburuan. Tidak mudah untuk sampai di pintu keluar, apalagi kembali di titik awal. Seringkali kawanku bilang bahwa ini hanya urusan waktu. Semua akan baik-baik saja jika waktunya sudah tiba. Lagi-lagi, aku harus menghamba pada waktu yang tidak pasti, sedang aku sudah semakin sakit. Ini adalah kali pertama logika dan rasa tidak berkawan. Mereka jalan sendiri-sendiri, pun aku tak punya arah, harus berdamai dengan siapa?
Satu tahun tak cukup untuk kembali mencintai diri sendiri dengan logika yang merdeka. Logika, kadang-kadang ia lari seenak hati. Rasa menjadi pihak yang lebih mendominasi. Di titik ini aku berpikir bahwa aku kalah. Sudah tak bisa berbuat apa-apa, tunduk ada kekalahan, abai pada setiap progresivitas yang seharusnya dapat aku capai.
Maret 2020. Pada suatu malam, aku bicara pada diriku sendiri. Hai, hati! Apa kabar, logika? Aku sudah lelah. Belasan babak tak ada titik klimaks. Semua bermula dan terus bermula. Aku ingin kembali pada diriku yang merdeka. Bodoh pun tak jadi soal, asal hati dan logika masih bisa tertawa bersama. Berkali-kali aku lelah, berkali-kali ingin pulang, berkali-kali aku gagal.
Saat orang-orang sudah mulai enyah dengan cerita perburuan ini, ada kesempatan untuk berdialog dengan diri sendiri. Keintiman dengan diri sendiri, tanpa kesadaran yang dapat aku maknai, semua yang terjadi dapat diterima dengan baik.
Hari ini rasa dan logika sudah mulai berkawan lagi. Mereka menemani perburuanku yang lain. Kali ini perburuan untuk diri sendiri. Sedangkan perburuan yang lalu bukan memori yang tetiba hangus tak bersisa. Semua akan menjadi catatan rapi, yang kadang-kadang aku tertawa saat membacanya lagi. Hai, terima kasih sudah pernah menemani perburuan ini. Cukup enam belas babak, akhirnya aku dapat menyatukan rasa dan logika kembali.
