Pendidikan paling dasar adalah merawat nalar. “Mencerdaskan Bangsa”, semoga bukan sekadar bualan, meski berbagai pihak yang tengah mengupayakannya
mengalami banyak hambatan. Serangan dari banyak sisi, termasuk para pemangku kepentingan yang terdidik tetap harus dilawan. Lantas, siapakah pihak paling jernih yang bisa dipercaya? Patutkah disebut bernalar jika orientasinya hanya menjaga citra institusi belaka?
YY (pelajar, korban kekerasan seksual yang sedang mendapat banyak perhatian) adalah salah satu potret gagalnya institusi pendidikan dalam merawat wasiat “Mencerdaskan Bangsa”. Selama ini, membuka perbincangan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang adil gender kepada pelajar dianggap sebagai hal yang tabu. Padahal pengetahuan tentang hak atas tubuh penting untuk disampaikan. Selain itu, pembiaran yang terjadi atas kasus pelecehan yang dilakukan oleh guru kepada muridnya sangat bertolak belakang dengan cita-cita tersebut.
Satu bulan lalu terjadi kasus pelecehan seksual di sebuah SMA negeri, cukup dekat dengan rumah saya. Pelakunya adalah seorang guru (PNS). Beberapa korban di antaranya adalah adik-adik saya. Minimnya pengetahuan tentang hak atas tubuh mereka, mengakibatkan tindak asusila dianggap sebagai hal yang wajar. Mereka tidak paham bahwa sebetulnya mereka menjadi korban pelecehan seksual. Meski kasus ini tidak sebesar kasus YY, namun mari kita coba cermati pola represi dan cuci tangan ala dinas pendidikan juga sekolah yang bersangkutan.
Bulan lalu adalah titik klimaks dari drama asusila seorang guru kepada mirid-muridnya. Drama ini sudah terjadi cukup lama, dan berkisah terlalu jauh. Banyak korban yang terbungkam tak berani melapor. Pertama, mereka jelas takut mendapat stigma dari masyarakat sekitar dan orangtua. Kedua, mereka merasa tidak memiliki cukup power untuk membela diri. Hingga pada akhir bulan Maret, hanya lima orang yang berani melapor. Empat di antaranya berani melapor setelah salah satu dari mereka mengawali pelaporan tersebut.
Para korban melapor kepada pihak sekolah. Dari lima orang korban, hanya dua di antara mereka yang, orangtuanya dipanggil oleh sekolah. Tiga yang lain hanya menandatangani surat pengaduan. Setelahnya, kepala sekolah bergegas berkonsolidasi dengan dinas pendidikan, hingga pada akhirnya si pelaku hanya dimutasi ke sekolah lain.
Delapan hari setelah SK mutasi diterbitkan, kepala sekolah merepresi dua orang korban dengan ancaman tidak boleh melanjutkan sekolah di SMA tersebut sebelum orangtua mereka datang ke sekolah. Bergegas mereka pulang dan memanggil orangtuanya, karena takut dikeluarkan dari sekolah. Orangtua yang tidak memiliki banyak bekal pengalaman pun dengan segera memenuhi panggilan sekolah. Padahal, waktu itu pukul 7.30 pagi, dan salah satu di antara mereka tengah bekerja. Sesampainya di sekolah, dua orangtua korban diminta menandatangani surat pernyataan damai dengan ancaman tersebut.
Dua korban tersebut adalah anak dari keluarga menengah ke bawah. Merujuk pada wasiat “Mencerdaskan Bangsa”, saat ini keterbatasan mereka untuk mencapai cerdas bukan hanya faktor ekonomi, tapi juga rasa aman. Pun pihak sekolah tidak melakukan advokasi dengan baik, malah melindungi pelaku atas nama citra sekolah.
Saya sempat menemui siswa-siswa lain yang terindikasi menjadi korban. Ternyata saya mendapati lebih banyak korban, dan mereka tidak melapor. Sepertinya sekolah mengetahui hal ini, kemudian mereka memanggil saya. Pemanggilan yang pertama, saya bertemu dengan salah seorang wakil kepala sekolah (laki-laki) dan salah satu guru (perempuan) mata pelajaran tertentu. Mereka meminta saya untuk diam dan tidak memperpanjang masalah ini agar nama baik sekolah tidak tercemar. Kedua, mereka juga mengatakan bahwa kesalahan (pelecehan seksual) yang dilakukan oleh guru kepada muridnya adalah pelanggaran sedang, dan tidak perlu dipidanakan. Muak, murka, marah! Saya heran dengan dua manusia yang waktu itu mengajak saya bicara. Apakah mereka tidak memiliki Ibu atau saudara perempuan? Mereka lahir dari batu?
Pada hari yang lain, saya berjumpa dengan kepala sekolah, dan ia pun menceritakan kronologi pemindahan pelaku tersebut. Pada intinya, dinas memberika
SK mutasi (hanya mutasi). Ketika saya menanyakan soal bagaimana isi SK tersebut, apakah disebutkan alasan mutasi? Kepala sekolah tampak bingung dan ia menjawab,”saya tidak tahu”. Ia pasti tahu, karena sebelum SK diberikan kepada pelaku dan sekolah lain yang akan menerimanya, ia tentu membacanya terlebih dahulu.Pun saya yakin, SK tersebut pastilah tidak menyebutkan kesalahan pelaku.
Satu catatan parah yang pernah saya dengar dari salah satu guru (perempuan) di sana, bahwa beberapa korban yang memiliki latar belakang pergaulan yang kurang baik tidak pantas mendapatkan dukungan dan advokasi. Saya sudah habis kata untuk mengumpat.
Pada titik ini, saya yakin bahwa kasus pelecehan hingga kekerasan seksual sudah telampau banyak. Kita tidak bisa berdiam diri. Pihak sekolah dan dinas pendidikan yang mengemban wasiat “Mencerdaskan Bangsa” saja sudah tidak bisa dipercaya. Mari bersolidaritas untuk memberikan rasa aman pada saudara-saudara perempuan kita!
