Mencintai itu butuhaksi agar kita benar-benar dapat memiliki. Tapi apalah arti memiliki kalauterus mengeskploitasi? Memiliki adalah mau mendengar, melihat, dan menggerakkansemua lini untuk bekerja bersama, membangun peradaban yang lebih baik, tanpa menanggalkan warna-warni adat setempat.
Hadirnya negara hanyalah sebatas pasukan loreng yang banyak merugikan warga. Apalagi pemerintah daerah masih kalut dengan suasana politiknya. Dominasi partai juga menghambat pembangunan saudara-saudara kita di sana. Ini penting sekali menghadirkan media alternatif untuk mengemas kegelisahan dan gagasan segar para pemuda dari belantara Papua. Sudah bukan saatnya seni berdiri sendiri. Seni harus bisa berkontribusi demi terciptanya tatanan hidup yang lebih baik, untuk mewujudkan kemerdekaan yang hakiki, kemerdekaan yang menjunjung tinggi adat tanpa batas. Inilah sedikit gambaran kerinduan masyarakat Papua atas tanah kelahirannya.
Matias Mayor adalah salah satu tokoh dalam film “Tuan di Negeri Sendiri”. Film dokumenter pendek ini bercerita tentang perjuangan Matias melawan para investor asing yang ingin menguasai belantara Papua. Keelokan Raja Ampat yang menjadi pesona khas Papua ternyata tidak hanya memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat setempat. Banyaknya wisatawan yang berkunjung membuat tempat tersebut semakin terksploitasi. Berbagai investor asing menjajah tanah-tanah adat untuk mendirikan resort. Mereka menggaji masyarakat lokal sebagai karyawan. Pun secara finansial, pihak investor mendapatkan keuntungan lebih besar daripada pribumi. Hal ini membuat Matias geram. Berbekal tanah yang dimilikinya, Matias mengembangkan tanahnya sendiri untuk membuat penginapan sederhana. Tawaran investor asing untuk bekerjasama pun ia abaikan.
Berbagai bentuk perlawanan tidak hanya dilakukan oleh Matias. Banyakya persoalan di Papua menuntut masyarakatnya memiliki strugle yang tinggi untuk mempertahankan diri, baik secara individu maupun komunal. Dalam film “Honai”, masyarakat Wamena juga menghadapi masalah serupa. Rumah
tradisional Honai merupakan pusat kehidupan bagi masyarakat di kawasan pegunungan tengah. Di Honai inilah seluruh sistem kehidupan seperti beragam
ritual, pertemuan klen, dan perdamaian dilakukan. Sejalan dengan perkembangan zaman, warga Wamena juga menempati pola pemukiman baru yang disebut Rumah Seng atau Rumah Sehat. Meski generasi muda sudah banyak yang menempati rumah tersebut, namun mereka masih percaya bahwa honai tetap menjadi pusat adat yang harus tetap dilestarikan.
Bukan hanya Honai yang terancam punah, hutan di Papua pun demikian. Kemudahan akses yang diberikan pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit untuk menguasai tanah Papua, membuat tanah-tanah adat semakin habis. Mariode Malak dan Kefas Gisim adalah “tembok penjaga” terakhir antara hutan dengan perusahaan kelapa sawit yang memperluas wilayahnya hingga tepi sungai Klasafet. Tetangga mereka telah menjual tanahnya kepada perusahaan. Mariode tidak ingin menjual tanahnya kepada perusahaan. Ia memasang papan penanda di seluruh tanahnya, untuk melindungi sisa hutan di sekitar tanah adatnya. Hutan adalah hidup mereka, katanya. Dan ia ingin menyelamatkan hutan seperti yang telah dilakukan leluhur kepadanya.
Fenomena tersebut semakin menunjukkan bahwa regulasi yang dibuat oleh negara sama sekali tidak berpihak pada masyarakat Papua. Kepedulian Indonesia terhadap Papua hanya semata karena ketersediaan sumber daya alam yang melimpah. Ketidakjelasan regulasi ini juga merugikan masyarakat Papua di berbagai sektor lainnya. Perdagangan misalnya. Dalam film “Biar Kami Saja Jual Pinang” digambarkan tentang terusirnya orang-orang pribumi oleh para pendatang. Para pendatang mendapatkan kebebasan untuk mendirikan kios, sehingga dagangan mereka nampak lebih bersih dan segar, terutama biji pinang. Namun, dengan segala keterbatasan, warga Wamena asli hanya menggelar tikar dan alas sederhana untuk menjajakan pinangnya.
Masih menyoal perempuan, film “Mutiara dalam Noken” juga menjadi sajian kritis atas gerakan sosial “perlawanan”. Film ini menceritakan tentang seorang dokter bernama Maria Rumateray yang bergerilya dari tempat ke tempat terpencil di daerah Papua. Dokter Mia, begitulah masyarakat menyebutnya. Minimnya tenaga kesehatan menggugah dokter Mia untuk mengabdikan dirinya di Papua.
Salah satu hal yang menjadi indikator atas minimnya tenaga kesehatan di Papua adalah belum suksesnya pendidikan. Kurikulum yang dibuat oleh pemerintah pusat lagi-lagi harus menanggalkan kearifan adat, sehingga anak-anak Papua masih kesulitan belajar. Dalam Film “Sekolah Papua”, diceritakan tentang David Womsiwor, seorang seniman yang juga seorang guru pada salah satu sekolah dasar di kabupaten Sorong prihatin dengan adat istiadat dan budaya Papua yang hampir punah. Ia memadukan seni dalam pelajaran di sekolah, disesuaikan dengan adat dan budaya setempat.
Upaya serupa juga digambarkan dalam film “Save the Karon”. Hans Mambrasar adalah seorang dokter, guru, sekaligus spiritual bagi masyarakat di pedalaman kabupaten Tambraw. Ia harus berjalan selama tiga hari untuk melintasi hutan dan sungai untuk melayani warga di kampung-kampung. Antara tahun 2012-2013 terjadi wabah penyakit di desa Jobjijoker dan Kosefa yang mengakibatkan kematian warga. Dengan seluruh upayanya, Hans membawa mereka ke desa terdekat untuk memperoleh pengobatan. Perhatian pemerintah sangat minim, sehingga Hans berharap di masa depan pemerintah membangun puskesmas pembantu (putru) dan tenaga kesehatan untuk melayani warga.
Permasalahan kesehatan bukan hanya menerpa masyarakatnya. Dalam kebudayaan masyarakat wamena, babi memiliki nilai yang sangat tinggi. Nama wamena sendiri berasal dari kata Wam yang artinya babi, dan Ena artinya jinak, atau babi jinak. Hampir di setiap seiklus kehidupan selalu disimbolkan dengan pemberian babi. Kekayaan sebuah keluarga juga ditentukan oleh seberapan banyak babi yang dimilikinya. Babi juga menjadi simbol perdamaian antarsuku di kawasan pegunungan tengah. Tidak heran ketika terjadi wabah penyakit yang membawa kematian pada babi menjadi kerugian besar bagi warga Wamena.
Delapan film dokumenter pendek yang tersaji dalam kompilasi Papuan Voices II ini hanyalah gerbang untuk memantik diskusi tentang banyaknya permasalahan di tanah Papua. Selama ini, kita tenggelam dalam informasi yang disajikan oleh media mainstream bahwa persoalan di Papua hanya sebatas soal freeport dan gerakan separatis. Padahal, banyak hal yng tidak kita tahu, tetapi menjadi kegelisahan besar bagi para warga Papua. Melalui Papuan Voices II, kita akan semakin mengerti tentang realitas di Papua. Masih ada masalah yang lebih kompleks, yang mungkin menjadi latar belakang dari masalah yang telah diangkat dalam kompilasi ini, atau bahkan menjadi dampak dan keberlanjutan. Mari mengeja hidup dari hidup yang sebenar-benarnya hidup. Pengorbanan dan upaya mandiri warga Papua adalah harta paling besar, karena hanya dengan kesadaran itulah mereka masih akan bisa bertahan.
