Tumblr

Kilas Balik FFPJ 2014

»» Pembukaan Festival Film Pelajar Jogja 2014 

Penampilan Simponi membuka FFPJ 2014

Pendiri FFPJ memberikan sambutannya

Adab Dance Community menjadi pesona tradisi dalam menyambut kehadiran para pelajar nusantara. Festival Film Pelajar Jogja dibuka pukul 09.00 dengan jumlah peserta 124 orang pelajar nusantara. Pembukaan ini berlangsung selama satu jam, bertempat di aula bawah, Pondok Pemuda Ambarbinangun Yogyakarta.  Festival ini dibuka dengan penampilan grup band Simponi. Simponi merupakan nama lain dari Sindikat Musik Penghuni Bumi yang berbasis di Jakarta dan diinisiasi oleh aktivis sosial dan hak asasi manusia, seniman dan aktivis lainnya yang memiliki perhatian terhadap isu-isu penting global dan menyuarakannya melalui musik. Pada saat pembukaan, Simponi bukan hanya menjadi band penghibur para peserta yang masih lelah karena baru saja datang dari berbagai daerah asal, melainkan sekaligus menjadi pemantik diskusi musikal. Simponi turut mengkampanyekan musik sebagai media alternatif untuk menyuarakan gagasan. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan dari pencapaian Festival Film Pelajar Jogja yang tidak ingin mencetak para peserta menjadi ahli pembuat film, namun menjadi manusia-manusia yang dapat memanusiakan manusia melalui media-media yang dekat dengan kehidupan mereka. Salah satunya adalah musik. Secara resmi, FFPJ tahun ini dibuka oleh guru pendamping dari Solok Sumatra Barat.

 »» Kelas Anti Korupsi

Herry Zudianto sebagai pembicara dan M. Berkah Gamulya, Direktur Eksekutif  BHACA sebagai moderator dan pemantik diskusi.

Kelas Anti Korupsi berlangsung selama 90 menit, tepatnya dari pukul 10.00-11-30. Kelas yang difasilitasi oleh Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) ini menghadirkan Herry Zudianto, Mantan Walikota Yogyakarta dan peraih BHACA tahun 2010 sebagai narasumber. M. Berkah Gamulya, Direktur Eksekutif BHACA turut mendampingi Herry Zudianto sebagai moderator dan pemantik diskusi. Dalam kelas ini, antusias pelajar nusantara diramaikan oleh tagline “Jujur Barengan”. Sebuah ajakan dari Sang Mantan Walikota kepada 124 pelajar nusantara untuk bersama-sama menjauhi korupsi. Harapannya, lepas dari kelas tersebut pelajar akan terinspirasi dengan gerakan-gerakan yang telah dilakukan oleh seorang Herry Zudianto. Pun kemudian, mereka akan bersama-sama melakukan aksi serupa dengan mediaya masing-masing. Seruan Herry juga menjadi catatan tebal untuk pelajar nusantara bahwa jujur adalah kunci membenahi bangsa Indonesia. Mulai dari yang kecil, dari diri sendiri, kemudian kelompok, lewat film, lewat gerakan tertentu, melalui aksi nyata sehingga mereka bisa  menjadi generasi yang akan mengatakan bahwa korupsi itu jadul dan korupsi itu katrok.

Herry Zudianto, Mantan Walikota Jogja dan peraih BHACA 2010. – Ayo Jujur Barengan–

»» Kelas Lensa Perempuan

Heni Matalalang, sineas perempuan yang karyanya sudah berkali-kali berlenggang di berbagai festival bergengsi. Dengan segala ketulusan dan kerendahan hatinya, doi memantik kelas lensa perempuan di hadapan ratusan pelajar nusantara

Banyak film Indonesia yang tidak mengindahkan masalah gender, ketidakadilan, eksploitasi, dan yang merugikan kaum perempuan. Secara tidak sadar, hal tersebut terekam dalam lensa film. Kelas Lensa Perempuan menghadirkan Dwi Sujanti Nugraheni atau lebih dikenal dengan nama Heni Matalalang, seorang sineas perempuan yang konsen dengan karya-karya dokumenter. Kelas yang berlangsung selama 90 menit, tepatnya pada 09.00-10.30 ini berada di aula atas Pondok Pemuda Ambarbinangun Yogyakarta. Para peserta diajak untuk bertemu gagasan tentang perspektif gender dalam film. Heni mencoba memantik diskusi dengan memutarkan beberapa karya film pendeknya. Kemudian, para peserta diajak untuk menemukan bias-bias gender dan pentingnya mengamati dari film yang selalu kita lihat. Terjadi diskusi menarik dalam forum ini. beberapa peserta dari luar jawa, yang mengalami budaya patriarki di daerahnya turut ambil bagian dalam diskusi. Seorang guru pembimbing dari Lampung merasa kelas ini sangat membantu mereka untuk membuka pemikiran tentang pentingnya perempuan untuk berkarier di berbagai bidang, termasuk bidang-bidang kreatif. Hal itu dikemukakan karena di derahnya, pekerjaan bergengsi untuk perempuan adalah Pegawai Negeri Sipil. Pada sesi ini, Heni menekankan pentingnya memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mengembangkan karya. Pun heni juga menaruh janji pada peserta bahwa perempuan bukan saatnya hanya menjadi objek dalam film, melainkan bisa lebih jauh lebih bagus katika perempuan menjadi subjek dari proses pembuatan film itu sendiri. Pada hari kedua, tepatnya pada tanggal 14 Desember 2014, detik-detik menjelang penganugerahan karya terbaik dari masing-masing kategori, peserta telah dibekali dengan pengetahuan yang akan mereka kaji lebih dalam di daerahnya, yaitu tentang kesetaraan gender dalam film.

suasana kelas lensa perempuan

 »»Kelas Riset Film

Tonny Trimarsanto menjadi teman curah gagasan dalam kelas riset film.

Keindahan bukanlah satu-satunya ukuran untuk menentukan kualitas sebuah karya, khususnya film. Penyajian konten yang sarat fakta dan data seharusnya dapat menjadi penyeimbang  nilai estetika yang ditawarkan. Keduanya haruslah seimbang. Begitulah Tonny Trimarsanto memantik diskusi pada kelas riset film yang diikuti oleh 124 pelajar nusantara. Tonny membawakan kelas selama 90 menit dengan sangat inspiratif. Karya-karyanya yang padat konten riset namun tetap tidak membosankan membuat para peserta tidak beralih pandang. Kelas ini berlangsung di aula bawah, Pondok Pemuda Ambarbinangun Yogyakarta. Tonny memperlihatkan cuplikan-cuplikan karyanya yang sarat riset tersebut sebagai bahan diskusi. Para peserta pun terpancing untuk saling berbagi pengalaman tentang riset yang selama ini mereka lakukan. Dalam kelas tersebut, Tonny juga berbagi tips bagaimana mengenal dan memahami objek dari film yang akan diproduksi, dan proses riset berdarah-darah yang harus dilalui oleh peserta. Pada sesi tersebut, peserta ditantang oleh Tonny untuk menjadi jiwa-jiwa yang tidak pantang menyerah dan memiliki intuitif tinggi terkait permasalahan di daerah mereka. Pun masalah-masalah tersebut adalah masalah-masalah yang membuat mereka gelisah dan ingin diungkapka dalam bentuk karya. Sebuah karya yang bagus, adalah karya yang mampu mewakili apa yang tidak bisa pembuat film katakan. Pun karya yang baik adalah karya yang dibuat tanpa mengenal lelah.  Kelas ini sangat menarik karena peserta diajak untuk menyelami perjalanan hidup narasumber dalam berproses membuat karya yang mendapat banyak apresiasi baik di dalam maupun luar negeri. Di akhir sesi, Tonny membagikan buku yang berisi catatan dari film dokumenternya yang sarat dengan konten riset.

Renita-renita. film pendek karya Tonny sedang diputar untuk memantik diskusi

 »»Forum Pendidik

Mas Inong, pemantik cihuy yang baru saja mendapat gelar doktornya di London

Forum Pendidik hadir untuk memetakan pemikiran para guru penamping yang turut hadir untuk mendampingi siswa binaannya.  Tahun ini adalah pertama kalinya FFPJ menyelenggarakan forum pendidik. Banyhak sekali permasalahan yang sebenarnya datang dari para guru. Pun dalam forum singkat ini, FFPJ dapat sedikit memetakan arah pemikiran mereka selama ini.

Forum ini diikuti oleh 15 orang guru pendamping yang datang dari berbagai daerah dan berbagai disiplin ilmu. Hal itu terjadi karena tidak semua guru yang turut mendampingi siswanya untuk berproses dan datang ke FFPJ bukan hanya guru seni budaya, melainkan siapapun yang merasa penting untuk mengawal pelajar nusantara dalam berproses menggunakan media alternatif, film.

Kurniawan Adi Saputro, S.IP., MA., Ph.D., dosen Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Yogyakarta menjadi teman curah gagasan. Kurniawan mencoba memantik para guru untuk berbagi pengalaman dalam mengelola komunitas film beserta karyanya di daerah mereka. Pun refleksi tentang penyelenggaraan FFPJ selama lima tahun ini juga dilakukan dalam forum ini.  berbagai bentuk usulan dari peserta di antaranya adalah dengan melaksanakan pelatihan untuk para pendidik dalam memnfaatkan, mengoptimalkan peralatan yang ada, mengoptimalkan forum online, pemutaran film sebagai referensi dan komunitas apresiasi.

Sesi kedua, dipantik oleh mas Tommy, Pendiri FFPJ yang nggak kalah kece

Antusias dari para guru terhadap forum ini sangat terasa. Bahkan, di hari kedua, sesi ini dibuka kembali untuk menaungi kegelisahan para gutru pensamping. Pun mereka berharap, forum ini tidak berhenti sampai di sini, namun ada aksi berkelanjutan untuk dilakukan bersama-sama.

 »»Api Ekspresi dan Temu Komunitas

Sederhana, tetep romantis 🙂

Api ekspresi dan temu komunitas adalah sesi terakhir di hari pertama dari rangkaian acara Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ) ke-5. Acara yang dimulai sekitar pukul 21.00 WIB ini diawali dengan berbagi pengalaman dari Fahmi, International Affair Officer yang menjadi wakil FFPJ dalam Greenstorming Film Festival di Jerman. Selain Fahmi, ada pula John Fabiant, Pelajar dari Santo Lucas Jakarta yang menjadi pemenang dalam Greenstorming Fillm Festival di Jerman dan Festival Film Anak Asia di Jepang tahun lalu.

Sesi ini ditujukan untuk menyatukan seluruh peserta FFPJ ke-5 agar dapat membaur satu sama lain, sehingga tak ada sekat antar sekolah, daerah, maupun komunitas. Acara ini sukses membuat peserta bersorak sorai, bergembira bersama menikmati malam kebersamaan dalam suasana yang penuh kesederhanaan di Pondok Pemuda Ambarbinangun. Api unggun yang dinyalakan semakin menambah hangat suasana malam itu. Api Ekspresi dan Temu Komunitas memang salah satu cara FFPJ untuk menghilangkan ingatan peserta tentang festival, menang, dan kalah. FFPJ dihadirkan untuk mempertemukan gagasan, mempertemukan secara fisik jiwa-jiwa yang haus diskusi dan memiliki kepekaan tinggi terhadap dunia di sekitarnya.

Peserta yang dibagi dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 10-12 anggota per kelompok memeriahkan sesi ini dengan memberikan beragam pertunjukan mulai dari menyanyi, berpuisi, acapela dan lain-lain. Tidak hanya berhenti sampai disitu, semakin larut suasana menjadi semakin akrab dengan beragam permainan dan kejutan. Sesi ini adalah waktu di mana keserhanaan itu tetap romantis.

 »» Penutupan Festival Film Pelajar Jogja 2014

Pemenang kategori fiksi, persembahan dari FSMR ISI Yogyakarta

Awarding menjadi acara penutup dari seluruh rangkaian acara Festival Film Pelajar Jogja ke-5 tahun 2014 ini. Sesi ini dimeriahkan dengan penampilan La Galigo Music Project, sebuah grup musik etnik yang menjadikan musik sebagai media alternatif untuk melakukan konservasi pusaka nusantara.

La Galigo Music Project usai tampil di penutupan FFPJ 2014

Kemudian, Festival Film Pelajar Jogja ditutup dengan pengumuman dan pemberian penghargaan kepada pemenang kompetisi kategori fiksi, dokumenter dan video musik. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemutaran karya pemenang. Dalam penutupan ini, Ki Hartanto M.Sn, pendiri padepokan film grabag dan perwakilan dewan juri utama menaruh harap dan pesa kepada peserta bahwa membuat film bukan semata untuk kepentingan diri sendiri, tetapi bikinlah karya yang dapat berkontribusi untuk tatanan bidup masyarakat yang lebih baik.

Pemenang kategori video musik, persembahan dari Simponi